Selasa, 07 Desember 2010

Ancol Is Miscellaneous Indonesia

ANCOL IS

MISCELLANEOUS INDONESIA

Oleh : Catur Caesaria



Berbicara tentang nasionalisme, tentu bisa sangat panjang dan menyangkut
banyak aspek. Nasionalisme atau kebangsaan dahulu lebih sarat dengan muatan politis
seperti identitas diri kebangsaan. Namun, seiring perkembangan masa, pemahaman
nasionalisme pun mengalami perluasan makna. Yang populer pada konteks kekinian
adalah lebih mengarah pada tema sosial, ekonomi, seni budaya, hukum seperti peran
atau kontribusi positif atau prestasi yang berimplikasi pada situasi kondisi yang lebih
baik dari sebelumnya pada suatu negara atau yang menyangkut kebangsaan.

Jika nasionalisme populer dikaitkan dengan pariwisata, tak bisa dilepaskan dari
perannya yang cukup signifikan dalam menyumbang devisa negara selain pemasukan
dari sektor migas, energi dan mineral yang notabene adalah hasil bumi yang terbatas
jumlahnya. Sektor pariwisata yang berkembang progresif kini tak hanya berkutat pada
keindahan alam semata, namun banyak mengalami pergeseran tren. Jika dahulu kita
cuma mengenal wisata keindahan alam, kota, budaya/tradisi atau situs-situs sejarah kini
muncul seperti wisata ibadah, wisata kuliner, wisata belanja bahkan wisata medis yang
semuanya merupakan hasil kreasi dan inovasi para pelaku dunia wisata yang jeli
mencium fenomena bisnis yang belum tereksplor. Indonesia yang kaya akan hasil bumi,
keindahan alam beserta situs sejarah, ternyata juga tak ingin ketinggalan dengan negara
lain dalam membangun fasilitas-fasilitas wisata modern seperti Taman Impian Jaya
Ancol. Taman Wisata kebanggaan Indonesia memiliki konsep ke depan sebagai sentra
wisata khas Asia Pasifik yang penuh dengan kekhasan Indonesia. Dengan angka
kunjungan wisatawan pada 2009 yang mencapai 14,1 juta pengunjung (sumber:
www.ancol.com), Taman Impian Jaya Ancol cukup prospektif untuk mencapai predikat
salah satu tempat wisata favorit di Indonesia dan sangat mungkin akan masuk jajaran
atas sebagai destinasi wisata modern favorit internasional. Tinggal kita sebagai warga
negara Indonesia yang terus mengubah mind set untuk lebih mengutamakan
mengunjungi dan mengeksplorasi seluruh pelosok negeri ini daripada harus
menyumbang devisa bagi negara lain dengan berwisata ke luar negeri. Rasa bangga
kepada negeri sendiri harus terus dikampanyekan kepada seluruh elemen bangsa,
sebagaimana gencarnya kampanye “Visit Indonesia” di manca negara. Inilah salah satu
nasionalisme yang sebenarnya. Dengan berkunjung ke Ancol, bisa menjadi pintu
gerbang menggugah nasionalisme di bidang pariwisata.

Taman Impian Jaya Ancol sebagai wahana wisata modern menggeliat sebagai
salah satu kekuatan wisata modern di Asia Pasifik. Ancol yang mengalami “peak
performance” dengan mendulang kunjungan tertinggi ramai dikunjungi wisatawan,


khususnya domestik, pada musim liburan sekolah, liburan hari raya atau liburan tahun
baru, terus mencoba merebut hati wisatawan domestik untuk lebih mengenal negeri
sendiri melalui berbagai promosi dan publikasi termasuk di televisi. Sebagai wahana
wisata yang diperuntukkan segala segmentasi, segala umur dan segala golongan, Ancol
terus berbenah menjadi salah satu ikon bangsa. Wahana yang dengan aspek lengkap
seperti entertain, edukasi dan berwawasan lingkungan tentu sangat unik dan kompetitif
jika disandingkan macam Disneyland atau Universal Studio yang pesifik. Beragam
wahana yang disajikan Taman Impian Jaya Ancol seperti Dunia Fantasi, Gelanggang
Samudra Atlantis, Sea World, Pasar Seni begitu melekat di hati masyarakat. Belum ke
Jakarta jika belum ke Ancol. Kelak dengan manuver semua pihak bisa terpatri Ancol is
Indonesia.

Terdapat benang merah antara tujuan wisata yang dipilih dengan rasa
kebanggaan pada negara sendiri. Nasionalisme identik dengan cinta tanah air dan
bangga menjadi putra bangsa. Tidak sedikit orang Indonesia yang memilih untuk
mengisi liburan dengan berwisata ke luar negeri seperti Singapura, Thailand, Malaysia,
China atau sejumlah negara di kawasan Eropa. Tidak salah memang untuk mengenal
negara lain, namun akan lebih ideal jika sebagai putra bangsa seharusnya lebih
mengenal negeri sendiri yang sudah sangat tersohor karena keindahan dan keeksotisan
alamnya hingga begitu memikat wisatawan manca negara. Belum lagi daerah-daerah
yang eksotis yang belum “terjamah” dan “liar” yang tak terhitung jumlahnya yang
terbentang dari Sabang hingga Merauke. Berwisata tidak selesai sampai berkunjung di
suatu tempat lalu bersenang-senang begitu saja. Lebih dari sekadar itu. Ada aspek
ekonomi seperti pemasukan devisa dan ada pula aspek nasionalisme. Setiap kunjungan
wisatawan manca negara maupun domestik, selalu menyumbang devisa bagi negara
yang sangat bermanfaat untuk pembangunan. Begitu juga jika wisatawan kita ke luar
negeri, yang berarti berkontribusi devisa bagi negara tujuan. Negara kita yang menjadi
salah satu destinasi wisata internasional, seperti Bali yang sudah mendunia, Bunaken
dan yang lain dan tentu saja telah menyumbang devisa cukup signifikan, tentunya
sangat menggelitik jika kita lebih tertarik untuk berwisata ke luar negeri. Negeri kita
yang demikian luasnya, teramat banyak tempat indah dan menarik untuk dieksplor dan
sudah tentu kita menyumbang devisa untuk negeri kita sendiri. Setelah kita cukup
mengenal negeri sendiri, niscaya tumbuh rasa kebanggaan pada alam sendiri dan
pengakuan bahwa potensi alam kita tidak kalah dengan luar negeri.

Manajemen Taman Impian Jaya Ancol harus mampu memanfaatkan posisi
Jakarta sebagai ibu kota yang Jakarta Sentris. Jakarta yang “serba ada” bisa dijadikan
sebagai jendela untuk menjelajah lebih jauh Indonesia yang beraneka ragam melalui
Taman Impian Jaya Ancol. Tingginya angka kunjungan wisatawan, khususnya domestik
ke Ancol cukup membanggakan, namun jangan hanya puas sampai di situ saja.
Mengingat misi yang dicanangkan, bahwa Ancol akan menjadi sentra wisata modern di
ranah Asia Pasifik, masih banyak manuver yang harus dilakukan. Salah satunya adalah ,
Ancol harus dikreasi sebagai representasi atau pintu gerbang beraneka ragamnya


Indonesia, yang tentu saja tanpa meninggalkan modernitasnya. Jika saat ini kita
perhatikan, yang lebih menonjol adalah aspek universalitas turisme itu sendiri. Sentuhan
etnitas, tribalisme atau nasionalisme masih kurang menggigit. Landmark-nya sebagai
Indonesia masih belum mencuat. Harusnya Taman Impian Jaya Ancol adalah format
futuristik dari Taman Mini Indonesia Indah plus multi entertain. Misal arsitektur
bangunan-bangunan di Dufan, Gelanggang Samudra Atlantis, kolam renang, Sea World
dengan dikemas arsitektur style Majapahit atau Mataram tentu akan lebih eksotis.
Layaknya bangunan-bangunan berinterior modern dengan casing kuno di Eropa dan ini
jauh lebih menarik. Identitas yang nasionalis seperti inilah yang harus dikemas oleh
Taman Impian Jaya Ancol. Turis manca negara tentu tidak ke Indonesia untuk
menikmati sesuatu yang sudah ada di kampung halamannya atau sesuatu yang meniru-
niru sesuatu di negaranya. Mereka mencari nilai-nilai ketulenan dari Indonesia. Ini
harus digapai jika memang Taman Impian Jaya Ancol serius untuk go international.

Sejak reformasi 1998, gelombang cobaan berat menghantam Indonesia di
berbagi dimensi. Krisis ekonomi yang belum usai, korupsi, konflik horizontal,
keamanan yang tidak kondusif, gejala disintegrasi, minimnya prestasi di berbagai
bidang di dunia internasional turut mempengaruhi nyali orang Indonesia untuk berani
bilang “I am Indonesian”. Tidak sedikit orang-orang Indonesia tampil minder dan malu
mengaku sebagai orang Indonesia karena meratanya nilai merah Indonesia di rapor
internasional. Satu contoh, survey LSI di Aceh tahun 2005 yang menunjukkan cuma
45% yang mengaku cinta RI dan cuma 33% yang bersedia berperang untuk RI
(sumber:www.setneg.go.id). Satu jalan harus diperbuat untuk mengangkat nasionalisme
yang mengkerut melalui dunia pariwisata, khususnya Ancol. Spirit Bung Karno yang
dulu menggelorakan nasionalisme pemuda Indonesia dengan konsep national character
building harus diretas melaui Ancol sebagai lokomotif bagi sektor lain. Adalah
kebanggaan Indonesia jika Taman Impian Jaya Ancol sangat familiar di dunia
pariwisata internasional.

Dari sejumlah survey beberapa lembaga di bidang pariwisata,mendudukkan
Indonesia sebagai salah satu destinasi wisata favorit internasional. Beberapa aspek yang
disukai wisatawan seperti alam yang indah, budaya yang beragam, makanan yang lezat
dan biaya yang murah. Ancol harus masuk dalam agenda utama setiap pelaku usaha
pariwisata dalam promosinya. Dengan keberagaman wahananya, Ancol diharapkan
sebagai representasi Indonesia melalui kekhasannya. Dengan kampanye terus menerus
untuk Visit Indonesia, bisa dimulai dari Ancol. Lengkapnya aspek wahana, dengan
berwisata di Ancol kita bisa mendapatkan keuntungan berlipat, terhibur, bertambahnya
wawasan dan tentu saja menambah devisa bagi negeri sendiri yang merupakan salah
satu wujud merekonstruksi nasionalisme modern. Dengan berkunjung ke Taman Impian
Jaya Ancol turut mengatrol kebanggaan dan nasionalisme yang sempat terkubur oleh
krisis multi dimensi

3 Idiot Acts In 3 Days

3 IDIOT ACTS IN 3 DAYS
(The Valuable Lesson)
Oleh : Catur Caesaria

Sebenarnya ini terjadi sudah lama,namun aku baru menyadari dan merenungkan hikmahnya setelah membaca buku Shaid Al Khatir (Nasehat Bijak Penyejuk Iman) karya Ibnu Al Jauzi. Saat itu terjadi tahun 2000. Aku dan teman mengalami sesuatu yang konyol selama 3 hari berturut-turut. Hari pertama. Saat itu aku sedang bekerja di sebuah perusahaan di kota Sidoarjo. Aku baru bekerja beberapa bulan dan mendapatkan panggilan job interview di salah satu perusahaan di Surabaya. Sebagai manusia biasa, aku pun tertantang untuk menjawab undangan job interview tersebut dan berharap bisa diterima bekerja dan sekaligus bermimpi tempat baru memberikan segala sesuatunya lebih baik daripada tempat kerja saat itu. Saat itu, yang mendapat undangan job interview bukan hanya aku, tetapi juga rekan kerjaku lain divisi, sebut saja Totok. Dia bekerja setahun lebih lama daripada aku dan memiliki harapan sama membuncahnya denganku terhadap undangan job interview tersebut. Kami berdua mendapatkan undangan persis di hari dan jam yang sama .Jadilah kami berangkat bersama berdua dengan mengambil cuti. Kami berdua naik motor berboncengan. Singkat cerita, ternyata saya mendapat giliran lebih dahulu untuk menjalani interview. Kurang lebih 40 menit, interviewer mengajukan pertanyaan-pertanyaan standard dan spesifik. Setelah saya keluar dari ruang interview, giliran Totok masuk. Seraya memberi kode acungan jempol padaku, dia berucap “Wish Me Luck”.Aku duduk di ruang tunggu. Belum genap ku menikmati ruang tunggu yang berada di lobby mewah, tak kusangka begitu cepat Totok keluar dari ruang interview dengan muka masam ditekuk. Hampir lima menit saja dia interview. Bagiku ini pantas mendapat penghargaan dari MURI dan memecahkan rekor dunia Guiness Book World of Record. Dia bergegas menghampiriku dan berbisik,”Ayo,cepat pulang !”. Aku bengong dan menjawab pelan,”Kenapa cepat sekali ?”. Totok tak menjawab cuma menarik keras lenganku sembari memberi tanda untuk segera enyah dari kantor ini. Baru kutahu jawabnya, setelah kami berada di perjalanan pulang menuju tempat kos di pinggiran kota Surabaya. Di tengah perjalanan, Totok bercerita. Ternyata, sang interviewer adalah mantan kakak kelasnya (senior) sewaktu kuliah dulu dan Totok…sangat membencinya..sampai sekarang. Menurut Totok, mereka berdua memang ada masalah pribadi sewaktu kuliah dulu dan Totok tak bisa melupakannya alias masih menyimpan dendam. Totok memakai alasan hendak ke toilet karena sengaja ingin menyudahi interview lebih awal karena…benci. Aku hanya geleng-geleng kepala dan tak bisa memahami isi kepala Totok. Kubilang pada Totok, sebenarnya Allah sudah memberikan jalan untuk mengubah kehidupan, namun dia tidak peka dan mengutamakan egonya. Aku hanya menarik napas panjang dan berharap mereka bisa menyelesaikan problem dengan baik-baik.

Hari kedua. Pagi itu aku mendapat tugas dari boss untuk menemui seseorang di sebuah kantor di Jl. Panglima Sudirman, Surabaya. Saat itu ada beberapa staf termasuk aku yang harus menjalani tugas keluar kantor. Ada bagian purchasing yang belanja rutin peralatan dan perlengkapan kantor, ada bagian keuangan yang rutin ke beberapa bank untuk melakukan transaksi dan lainnya. Saat itu aku harus menemui seseorang dari salah satu perusahaan asuransi. Karena lalu lintas sangat ramai dan kendaraan berjalan cepat dan juga tak ingin rekan-rekan lain terlambat di tempat, aku meminta rekan driver untuk menepi saja supaya aku segera melesat menuju kantor asuransi. Aku tak ingin, driver mengantarku masuk di areal parkir kantor asuransi, sementara temanku terlambat mengerjakan job desk-nya. Singkat kata, urusanku dengan staf asuransi beres dan sesuai kesepakatan, aku menunggu rekan lain di sebelah timur Jl. Panglima Sudirman (kantor asuransi berada di sebelah barat Jl. Panglima Sudirman) dekat pertigaan antara Jl. Panglima Sudirman, Jl. Urip Sumoharjo dan Jl. Basuki Rahmad, untuk dijemput. Untuk bisa ke seberang, atau sebelah timur aku harus menyeberang di tengah arus ramai dan kencangnya laju kendaraan yang seolah tak pernah surut. Aku berada di trotoar siap menyeberang persis di zebra cross di bawah traffic light. Sembari menunggu sepinya arus kendaraan, aku bersiul membunuh jemu. Lima menit, sepuluh menit berlalu. Kutatap, rekanku sekantor masih belum nampak di seberang jalan dan arus lalu lintas belum sepi juga. Jl. Panglima Sudirman memang terkenal dengan arus kendaraan yang ramai dan lajunya yang kencang. Lima belas menit berlalu dan setengah jam pun menyergap. Aku mulai jengah dan suntuk. Arus kendaraan yang padat tak kunjung mereda. Dan herannya, tak seorangpun selain aku yang hendak menyeberang waktu itu. Aku akhirnya bertekad harus sampai ke seberang. Dengan menarik napas panjang dan menatap arus kendaraan (arus di Jl. Panglima Sudirman adalah arus satu arah, yaitu menuju selatan), happ…aku lari sekencang-kencangnyanya menuju seberang dan hasilnya aku hampir tertabrak mobil dan mendapat bonus caci maki plus sumpah serapah para pengendara. Jantungku berdetak kencang sekaligus lega karena telah sampai di seberang dan berharap teman segera menjemput. Belum mereda irama hard core dari degup jantungku menuju irama melo, ternyata ada seseorang yang mengamatiku dari tadi. Dia adalah pemilik kios rokok yang tidak jauh dari lokasiku menyeberang. Dia menyapaku ramah dan kusambut ramah pula. Katanya, aku tak perlu memforsir tenaga untuk lari menyeberang, karena di traffic light terdapat tombol untuk mengaktifkan lampu khusus penyeberang yang bergambar penyeberang jalan. Benar saja, tak lama dari perbincangan itu ada seorang ibu dan anaknya yang kira-kira masih ABG berseragam menyeberang di situ. Sang ibu menyalakan tombol untuk penyeberang jalan. Lampu menyala..dan kendaraan-kendaraan yang melaju dari utara, sontak memperlambat laju dan berhenti persis di depan zebra cross. Jadilah, sang ibu dan putrinya melenggang dengan santai menyeberang menuju sebelah barat Jl. Panglima Sudirman, dan…selamat. Saat hal itu kuceritakan ke teman-teman sekantor mereka mentertawakan ketololanku. Kata mereka itu lebih konyol dari April Mop. Beginilah jika orang gaptek (gagap teknologi) dan kuper (kurang pergaulan).

Masih hari kedua. Saat itu aku menikmati istirahat siang di kantor. Kurang lebih saat itu jam 12.20. Tak berapa lama, pengeras suara di pabrik menggema dan menyampaikan informasi bahwa aku mendapat panggilan telepon di kantor. Bergegas aku menuju ruang resepsionis sekaligus operator telepon. Ternyata si Kukuh, teman dari Malang satu almamater sewaktu kuliah yang sedang berada di Surabaya dan dalam rangka sedang mencoba mengubah nasib dengan menjalani interview di salah satu perusahaan di Surabaya. Setelah ngobrol sejenak bercampur sekejap nostalgia, ternyata dia sedang mengalami kekonyolan. Baru kutahu ternyata dia gagal menjalani interview, bukan karena tidak lolos fit and proper test atau sebab yang lain. Dia gagal karena kekonyolan nya sendiri yang kurang cepat tanggap merespons situasi kondisi dan sedikit sombong. Dia telat menghadiri job interview karena terjadi miskomunikasi. Sewaktu perusahaan menelepon dia untuk mengundang job interview, dia salah mendengar alamat perusahaan yang harus didatangi. Padahal perusahaan pun sempat menanyakan kepada Kukuh apakah dia mengerti lokasi job interview,dengan mantap namun membohongi diri sendiri dia menjawab “tahu”. Perusahaan tersebut berdomisili di Jl. Tanjungsadari, namun menurut telinga Kukuh adalah Jl.Tanjungsari. Dasar dia orang dari luar kota yang sangat tidak mengenal jalan-jalan kota Surabaya, maka begitu sampai dia di Surabaya (dia naik motor dari Malang menuju Surabaya) bertanyalah dia kepada orang-orang yang dia temui di jalan di manakah letaknya Jl. Tanjungsari. Tentu saja orang-orang yang ditemui menjawab jujur apa adanya dan menunjukkan arah di mana Jl. Tanjungsari. Sesampainya di Jl. Tanjungsari yang memang lokasi industri dan pergudangan mulailah dia bergerilya mencari perusahaan yang bakal merekrutnya. Sementara jarum jam terus melaju dengan cepat, dia tak kunjung menemukan kantor perusahaan. Saat injury time, dia baru putus asa dan mencari wartel (saat itu orang yang memiliki HP masih terbatas pada kalangan menengah ke atas) untuk menelepon perusahaan. Saat itu sudah melewati jam seharusnya dia datang untuk job interview alias terlambat. Saat itulah dia lemas dan mengetahui ternyata alamat yang benar adalah Jl. Tanjungsadari, di daerah sekitar Perak yang jaraknya kira-kira dari Jl. Tanjungsari sekitar 10 km di tengah padatnya arus lalu lintas Surabaya yang sangat kerap macet tak mengenal waktu. Kukuh pun mencoba merayu perusahaan untuk meminta “kebijaksanaan” agar dia diperkenankan mengikuti job interview meskipun terlambat. Dan hasilnya perusahaan menolak bulat-bulat dan menganggap Kukuh sebagai sosok yang tidak profesional. Kukuh menyadari kesalahannya. Kuingat betul ucapan dia yang begitu melo,”Selisih satu huruf membuat nasib tak kunjung berubah,”. Akhirnya dia kuminta mampir ke kantorku dan kusambut dia sebagaimana layaknya teman. Ya Allah, semoga dia sabar dan mampu mengambil pelajaran dari episodeMu.

Hari ketiga. Aku mendatangi tes untuk masuk salah satu perusahaan asing di Pasuruan, tepatnya di PIER (Pasuruan Industrial Estate Rembang), yaitu kawasan industri seperti halnya di Rungkut, Surabaya dengan SIER-nya (Surabaya Industrial Estate Rungkut). Aku mendapatkan panggilan via telepon seminggu sebelumnya. Ternyata jumlah peserta yang diundang hari itu cukup banyak, yaitu 17 orang. Aku pun bertemu dengan dua orang teman satu almamater dan saling berkenalan dengan peserta lain. Kami datang dari berbagai kota. Ada yang dari Surabaya, Malang, Gresik bahkan Jakarta. Ada tiga tahap tes waktu itu dan tes dilakukan satu hari penuh mulai jam 09.00 sampai jam 16.00 dengan diselingi istirahat siang. Kami dijamu dengan makanan yang enak diruang khusus yang bukan kantin. Tes terdiri dari tes tulis (psikotes, tes materi sesuai bidang yang dilamar dan membuat esai) , tes komputer dan terakhir adalah interview dalam bahasa Inggris. Seperti biasanya sebuah tes seleksi, kami diwajibkan mengisi formulir bio data yang berisi data pribadi, keluarga, riwayat pendidikan, keterampilan/keahlian dimiliki, kemampuan bahasa asing, pelatihan/kursus/training dan riwayat/pengalaman kerja sebelum memulai sesi-sesi tes. Singkat cerita, kami semua sudah sampai tahap interview/wawancara. Secara bergiliran kami dipanggil untuk menghadap interviewer dan kami menunggu di ruang meeting yang mewah. Yang sudah selesai diperbolehkan pulang, namun sebagai sesama pencari kerja kami tidak langsung pulang tetapi kami sharing dan berbagi cerita apa yang kami alami di ruang interview. Salah satu teman dari Surabaya, memiliki cerita yang paling unik dan konyol. Rata-rata dari kami tidak mahir berbahasa Inggris dan bicaranya pun belepotan dengan logat daerah masing-masing. Teman dari Surabaya menjalani interview paling cepat di antara yang lain. Dia kurang dari sepuluh menit sudah selesai dan keluar dari ruang interview. Kami yang lain menjalani interview rata-rata 30-40 menit. Saat selesai itulah dia ditanyai kami semua mengapa begitu cepat interview-nya. Dengan santai dia menjawab, bahwa dia menjawab pertanyaan-pertanyaan bahasa Inggris sang interviewer dengan bahasa Indonesia, bukannya bahasa Inggris ! Kami semua heran melihat “keluguannya”. Dia bilang pada kami bahwa dia memahami kalimat-kalimat Inggris dari mulut sang interviewer tetapi dia tak bisa menjawabnya dengan bicara Inggris. Jadilah dia menjawabnya dengan bahasa Indonesia. Yang paling konyol, saat sang interviewer ( sang interviewer sepertinya sudah geram dengan teman dari Surabaya ini) akhirnya bertanya dalam bahasa Indonesia kepada teman dari Surabaya ini,”Mengapa Saudara menjawab pertanyaan-pertanyaan kami dengan bahasa Indonesia? Bukankah ini adalah job interview dalam bahasa Inggris dan sudah pula kami beritahukan saat melakukan panggilan via telepon ?” Kurang lebih begitulah pertanyaan sang interviewer. Kami pun deg-degan ingin mendengar jawaban teman dari Surabaya. Dengan enteng dia menjawab, bahwa dia tidak bisa berbahasa Inggris dan itu sudah begitu gamblang dan jelasnya di formulir bio data pada sub kemampuan berbahasa Inggris. Dengan jelas teman Surabaya mengisi pada kolom A yaitu buruk (Kolom B Cukup, C berarti Baik D berarti Mahir atau Fasih). Dan dengan tanpa beban pula teman Surabaya justru balik bertanya pada sang interviewer,”Kenapa Bapak tidak membaca dengan seksama formulir bio data saya yang sedang Bapak pegang ? Bukankah di situ dengan jelas saya memilih kolom A yang berarti kemampuan bahasa Inggris saya buruk ? Saat itulah tawa kami yang sedang menunggu giliran dan yang sudah menjalani tapi belum pulang, pecah berhamburan. Tawa kami seperti lagu medley yang tak putus-putus terus bersambung. Beberapa di antara kami bahkan ada yang sampai kesakitan perutnya. Melihat kami tertawa begitu riuh, sang teman dari Surabaya tetap nampak santai nothing to lose. Dia juga tak nampak malu atau bagaimana. Dia cuma menjawab pendek,”Aku kan mencoba jujur…” akhirnya kami bertujuh belas kompak pulang bersama dari perusahaan asing dan mampir di warung nasi tak jauh dari gapura pintu masuk PIER. Di situ kami mengobrol lebih jauh lebih bebas dan saling bertukar alamat dan telepon rumah. Alhamdulilah, ternyata kami bertujuh belas gagal semua untuk diterima, tetapi dengan job interview ini kami bisa memperluas pertemanan.

Setelah melewati usia 30 tahun, aku baru belajar merenung segala peristiwa kehidupan yang kualami. Benturan maupun nikmat dari Allah mencoba kucerna dan kupahami sejalan dengan logikaku, perasaanku, tingkat pengetahuan agamaku dan tentu saja yang sangat penting adalah berprasangka baik pada Allah. Allah punya cara kerja sendiri untuk mengelola umatNya yang tak bisa diganggu gugat dan tak sepenuhnya bisa kita mengerti. Kita hanya melakukan petunjukNya melalui kitabNya, sunnah nabi dan terus belajar ilmu bermanfaat apa saja dan pada siapa saja. Jika kita pandai bersyukur dan berprasangka baik pada Allah, maka Allah akan berlaku sama pada kita. Cuma Allah yang tahu persis takaran dan kapasitas kemampuan kita dalam mengelola hidup. Kita sendiri yang memiliki raga dan sukma sering overconfident atau malah pesimis. Kita semua sudah sesuai takaran yang ditentukan Allah dan pasti adil. Ibnu Al Jauzi, melalui Shaid Al Khatir berbagi bagaimana cara merenungkan kehidupan dan berkontemplasi melalui rambu-rambu yang benar dengan berlandaskan pada huznuzhon. Sejak membaca buku Shaid Al Khatir, aku tak ingin menyia-nyiakan segala isyarat untuk mengubah nasib dari Allah, dan belajar segala hal seperti sabda Rasulullah yang terkenal,”Belajarlah hingga ke negeri Cina”. Begitu juga dengan Henry Peter dan Lord Brougham yang berkata,“Cobalah untuk mengetahui segalanya dari sesuatu dan sesuatu dari segalanya”. Joseph Roux berkata,”Tuhan sering mengunjungi kita, tetapi kebanyakan kita sedang tidak ada di rumah”. Inilah yang sering kita lakukan, dan Ibnu al Jauzi melalui Shaid Al Khatir mencoba mengajak kita untuk sering berada di rumah untuk menerima tamu istimewa nan agung, Allah SWT.

Kisah ini untuk diikutsertakan dalam Lomba Kisah Menggugah Pro-U media di :
http://www.proumedia.blogspot.com/2010/10/lomba-kisah-pendek-menggugah-pro-u.html